Tilawah Keras untuk Membangunkan Santri

Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke sebuah pesantren untuk melakukan observasi management pengasuhan santri. Di pagi hari sekitar jam 02.30 saya dikejutkan oleh suara tilawah Alquran yang sangat keras cukup memekakkan telinga, dan saya tidak bisa tidur kembali.

Besok harinya peristiwa yang sama terjadi dan saya sudah terbiasa mendengarkan suara tilawah yang keras tersebut dan sudah tidak mengganggu tidur saya lagi karena saya bangun sesuai dengan keinginan saya yaitu pukul 03.00.

Fenomena di atas seringkali saya jumpai pada beberapa pesantren yang menggunakan prosedur membangunkan santri dengan mengumandangkan tilawah Alquran. Apakah semakin keras tilawah yang dikumandangkan akan semakin mudah para santri terbangun ?, jawabannya adalah “tidak”.

Justru saya menjumpai fakta sebaliknya, semakin keras tilawah yang dikumandangkan semakin sulit santri dibangunkan. Beberapa kajian di bawah ini barangkali bisa kita jadikan analisa terhadap fenomena di atas, diantaranya:

1. Membangunkan Hatinya, Bukan Telinganya

Sesungguhnya yang membuat bangun seorang santri adalah hatinya, bukan telinganya. Mungkin untuk beberapa kejadian awal seorang santri terbangun karena merasa terganggu dengan suara keras tilawah, namun dengan seiring waktu mereka mulai adaptasi dengan suara keras tersebut. Ia sama sekali sudah tidak terganggu dengan tilawah yang keras tersebut. Mereka tetap nyaman dalam tidurnya.

2. Sentuh Hatinya dengan Suara Lirih

Beberapa kali saya merasa kesulitan membangunkan santri saat tilawah keras, karena suara lirih saya tidak mampu menjangkau hati mereka. Tetapi dengan tilawah yang lirih maka begitu mudahnya saya bangunkan mereka dengan memanggil nama santri dengan suara pelan. Ada perasaan yang tidak nyaman untuk tidak segera bangun ketika hati sudah tersentuh

3. Buatlah Ketentuan Bangun Tidur Santri

Fungsi tilawah atau bel pada beberapa pesantren hanya sebagai penanda waktu bangun telah datang. Sementara mereka dibangunkan dengan kesadaran hati mereka atau teman-teman yang telah bangun dengan kesadaran diri. Maka disinilah perlunya prosedur bangun tidur yang disepakati dan disimulasikan. Tidak lupa juga membangun kebutuhan mengapa mereka harus bangun jam sekian.

Bukan telinga yang membangunkan santri, tetapi hati mereka yang tersadar untuk bangun.

Miftahul Jinan, M. Pd. I., LCPC

Direktur Griya Parenting Indonesia