PERTANYAAN
Ustadzah, saya punya dua anak, yang pertama putri kelas 2 SD, yang kedua putra hampir 4 tahun tapi belum sekolah. Anak yang pertama sangat pendiam, dia mau bicara banyak dengan saya saja. Kalau sama orang lain, sedikit sekali keluar kata-kata. Paling-paling kalau ditanya, mengangguk, menggeleng, atau malah lari, kadang-kadang kalau ada saya sembunyi dibalik badan saya, nggak mau lihat orang yang mengajak ngomong. Saya ‘kan malu sama orang, dikira anak saya nggak menghormati orang lain.
Anak saya yang kedua juga pendiam, lebih tepatnya cuek dengan lingkungan sekitar, seringkali kalau dipanggil tidak mau menoleh. Dulu termasuk terlambat bicara, baru bisa bicara dengan kata yang jelas umur 3 tahun, sekarang ini beberapa huruf belum bisa sempurna, seperti, ng, l, r. Trus, tingkahnya umek banget, nggak bisa diem.
Anak saya suka banget sama satu mainan, mobil-mobilan, bisa tahan berjam-jam ngeliatin rodanya berputar. Kata orang-orang itu tanda autis, apakah benar? Mohon sarannya, apa yang harus saya lakukan agar anak-anak saya tidak pendiam dan cuek seperti itu, terimakasih.
JAWABAN
Kemampuan komunikasi adalah bagian dari keterampilan sosial, dimana hal itu didapat dari pembiasaan lingkungan. Jika ibu merasa pendiamnya anak pertama dan cueknya anak kedua sebagai masalah yang mengganjal mereka bersosialisasi, maka memang perlu dilakukan penanganan.
Ibu belum menceritakan kondisi lingkungan rumah, karena biasanya hal itulah yang menjadi pemicu terjadinya masalah. Kami melihat, setidaknya ada 3 hal yang yang perlu diperhatikan pada anak-anak pendiam, yaitu karakter orangtua, pola suh orangtua, dan kondisi lingkungan di sekitar rumah.
Pertama, karakter orangtua sebagai figur teladan yang paling kuat diimitasi oleh anak. Jika bapak dan ibu di rumah juga memiliki karakter pendiam, ya tentunya jangan heran jika anak-anak menjadi pendiam, karena mereka hanya meniru pola komunikasi orang yang ada di sekitarnya, dan tentunya yang paling ditiru adalah figur orangtua.
Jika kondisinya seperti ini, maka yang kami sarankan adalah perubahan pola komunikasi orangtua, misalnya dengan lebih sering berbincang, bercanda, bercerita tentang berbagai hal, berdiskusi, di depan anak-anak. Harapannya dengan contoh konkrit seperti itu, anak-anak bisa belajar lebih cepat.
Kedua, pola asuh orangtua kepada anak juga mempengaruhi pola kepribadian anak. Pola asuh otoriter dikaji sebagai salah satu pemicu anak-anak dengan sikap pendiam. Sikap pendiam ini lahir dari rasa takut, rasa tertekan oleh aturan-aturan yang kaku, dan sebuah cara untuk bertahan terhadap adanya kekerasan.
Kondisi rumah dimana anak sering dimarahi dengan bentakan, larangan keras, caci makian, atau pukulan dapat menimbulkan serangkaian rasa tertekan sehingga mendorong anak untuk bersikap pendiam dalam rangka mempertahankan diri.
Jika kondisinya seperti ini, kami sangat menyarankan agar orangtua dapat memilih cara komunikasi yang lebih dialogis, kadang-kadang karena perilaku anak memang menyebalkan sehingga kita jadi marah, marah itulah yang ditahan, dengan mencoba memberitahu mereka tanpa rasa marah. Kadang-kadang untuk mendisiplinkan mereka, kita bersikap keras, mungkin bukan keras tapi cukup dengan kata-kata yang tegas.
Ketiga, kondisi lingkungan sekitar rumah atau pergaulan dengan tetangga juga mempengaruhi kondisi anak. Jika kondisi perumahan yang cenderung individualis, biasanya sosialisasi anak jadi terbatas karena selain di sekolah tempat bersosialisasi tentunya dengan tetangga.
Terbatasnya sosialisasi dengan tetangga membuat anak memiliki sedikit kesempatan untuk mencoba berinteraksi dengan orang banyak, padahal kesempatan berinteraksi itulah yang menjadi media peningakatan kemampuan komunikasi.
Kondisi lain yang serupa adalah kecenderungan keluarga yang membatasi pergaulan, sehingga meskipun suasana bertetangga tidak individualis, namun ada keluarga yang jarang keluar rumah, bahkan membatasi anak-anaknya keluar rumah. Sikap seperti ini juga menghambat anak mendapatkan kemampuan komunikasi yang lebih baik.
Jika kondisinya seperti yang disampaikan di atas, maka sebaiknya bapak-ibu memperluas interaksi dengan tetangga, dan menjalin silaturahmi seluas-luasnya agar anak-anak juga memiliki kesempatan untuk belalajar cara komunikasi yang lebih baik.
Terakhir, autisme adalah suatu sindroma neurologik yang menyebabkan keterlambatan perkembangan sosial, kurangnya kemampuan komunikasi, dan terjadinya masalah sensori motor.
Untuk dikategorikan anak autis, perlu serangkaian pemeriksaan yang profesional. Perilaku keterpakuan (dalam hal ini, anak ibu melihat roda mobil berjam-jam) adalah salah satu ciri autis, namun kami sangat berhati-hati dalam melakukan diagnosis, oleh karena itu, kami sarankan segera konsultasikan kepada tenaga profesional perkembangan anak.
Jika memang benar termasuk kategori autis, penanganan terpadu juga harus segara dilakukan, karena semakin lama dibiarkan maka perkembangan anak makin tidak optimal.
Bunda Ani Christina
Tim Ahli Tumbuh Kembang Anak Griya Parenting Indonesia