Anak Nakal dari Imajinasi Menuju Kenyataan

Beberapa moment yang paling saya suka saat mengisi training parenting adalah saat mengupas tentang pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Saya memulai materi ini dengan menyebutkan beberapa kata dengan intonasi yang berbeda, “Bentoel, ABC, dan 3.” Sejenak kemudian saya meminta para peserta untuk menuliskan beberapa kata yang berhubungan dengan Bentoel, ABC, dan 3.

Saya terperanjat ketika melihat mayoritas jawaban peserta adalah kata rokok disamping kata Bentoel, kata kecap dan saos disamping kata ABC, dan kata jaringan seluler disamping kata 3. Saya lalu merenung di mana arti asli kata Bentoel sebagai satu jenis umbi-umbian dari kota Malang, atau arti asli tulisan ABC sebagai tiga huruf pertama latin, dan arti 3 sebagai angka setelah angka 2 dan sebelum angka 4.

Proses ini memang sangat evolusioner terjadi di dalam otak kita. Saat pertama kali melihat angka 3 kemudian di bawahnya ada tulisan jaringan selulermu, maka terjadi penolakan yang besar pada otak kita, “Nggak nyambung, nggak connect.” Makna angka tiga dan nama sebuah jaringan seluler adalah makna yang imajiner karena tidak berhubungan. Sementara makna realitasnya angka 3 adalah angka sesudah 2 dan sebelum 4.

Sosialisasi yang begitu kuat dan berulang-ulang pada seluruh media elektronik atau cetak, telah membuat makna 3 yang tadinya begitu imajiner dalam konteks jaringan seluler menjadi makna realitas. Sebaliknya makna yang sebelumnya realistas menjadi makna yang imajiner.

Kasus kata Bentoel yang identik sebagai sebuah rokok dan menjadi makna realitasnya adalah contoh yang baik untuk fenomena di atas, sehingga Bentoel sebagai nama sebuah umbian di Malang saat ini semakin (imajiner) tidak dikenal orang.

Apakah proses di atas bisa terjadi pada konteks pendidikan anak ? Jawabannya adalah sangat mungkin bisa terjadi. Seorang anak yang sering menerima label dan panggilan anak nakal dari orang tua dan gurunya, pada panggilan pertama mungkin ia kurang memahami apa makna dari nakal tersebut. Baginya kata tersebut sangatlah imajiner (tidak dikenal) dan tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Namun dengan semakin seringnya kata tersebut diarahkan kepada dirinya dengan konteks yang hampir serupa, bahwa ibunya merasa jengkel dengan sikapnya yang tidak mau nurut atau gurunya yang mendapatinya tidak mengerjakan tugas, maka kata yang imajiner tersebut menjadi kata yang lebih realistik dan dekat dengan dirinya. Semakin sering ia mendengar kata-kata tersebut diarahkan kepada dirinya, maka semakin yakin bahwa dirinya adalah anak yang nakal.

Thomas L. Madden dalam bukunya yang berjudul Fire Up Your Learning menjelaskan sebuah teori yang ia beri nama Siklus 21. Seseorang yang menerima suatu afirmasi atau label dari orang lain yang tidak sesuai dengan dirinya, pada awalnya ia akan menolak afirmasi dan label tersebut dengan keras.

Jika afirmasi dan label tersebut terus ia dengar maka akan terjadi penurunan volume penolakan hingga sampai pada kondisi ia tidak menolak dan juga tidak menerima afirmasi dan label. Pada hari yang ke 21 jika afirmasi dan label terus disampaikan kepada dirinya, maka akhirnya ia menerima dan menyakini dirinya sesuai pada label dan afirmasi yang ia tolak sebelumnya.

Disinilah Al Qur’an dalam surat Al Hujurat ayat 11 melarang kita untuk memanggil dengan julukan-julukan yang buruk.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok- olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”

Saya mengenal seorang anak sebut saja dia dengan ‘Yono’, bagi saya ia adalah seorang anak yang sangat aktif, cerdas dan kreatif. Namun keluarga memandang keaktifan dan kekreatifannya sebagai sesuatu yang membuat repot dan menyusahkan. Ia sering mendengarkan kata nakal dialamatkan kepada dirinya.

Akhirnya ia menyakini bahwa dirinya anak nakal. Ketika saya mendekati dan mencoba untuk memberitahu bahwa dirinya bukan anak nakal tetapi anak yang sangat aktif dan kreatif, terjadi penolakan yang sangat kuat. Kata aktif dan kreatif baginya sangat imajiner, sementara kata nakal atau bandel sangat realistis.

Proses yang terjadi pada diri Yono bukanlah proses yang singkat. Proses tersebut tidak terjadi pada rentang sehari, dua hari atau sebulan dua bulan. Ia menerima label tersebut semenjak muncul keaktifan dan kreatifitasnya, yaitu semenjak balita. Kemudian saat ia berinteraksi dengan lingkungan sekitar ia menerima pemantapan dari mereka bahwa dirinya adalah anak nakal karena suka merepotkan dan menyusahkan orangtuanya.

Tragisnya, orangtuanya sering menjelaskan kerepotan dan kesusahannya ketika mengasuh Yono kepada lingkungan sekitar. Apakah label anak nakal tidak akan menetap dengan kuat pada diri Yono? Inilah yang sering terjadi pada banyak anak yang sebenarnya ia sendiri tidak memahami label tersebut.

Pada kondisi tertentu terjadi proses percepatan antara waktu pelabelan dan masa meyakini label tersebut. Yaitu jika orang yang memberi label adalah orang yang mempunyai kedekatan emosional dengan dirinya, semisal orang tua atau pengasuhnya. Anak akan jadi ragu terhadap dirinya, “Oh, jadi aku seperti itu. Orang tuaku sendiri yang mengatakan demikian.”

Beberapa ibu bertanya bagaimana jika anak-anak memang melakukan kenakalan seperti memukul teman atau merobek buku, apakah ia tidak boleh menyebutnya dengan anak nakal ?.

Menghadapi situasi seperti ini, orangtua tetap tidak semestinya untuk memberi label nakal kepada anak, tetapi dapat menggantinya dengan menjelaskan tingkah laku semestinya yang harus dilakukan, kemudian menyebutkan sikap orang terhadap perbuatannya. Seperti, “Mama tidak suka dengan tingkah lakumu merobek kertas itu,”, “Mama tidak senang jika kamu suka memukul temanmu.”

Beberapa pengaruh negatif yang sering terjadi jika orangtua dan lingkungan sekitar anak sering memberikan label-label buruk kepada anak, diantaranya:

  1. Tumbuh konsep diri yang buruk, ia menyakini dirinya sebagai anak nakal, anak bandel, sesuai label yang diberikan kepadanya.
  2. Anak menghadapi sebuah kondisi yang membingungkan dirinya, bahwa ia dilabeli dengan sebutan anak nakal, tetapi ia sendiri sering kurang mengerti mengapa ia diberi label seperti itu.
  3. Muncul perasaan kurang percaya diri, karena sering sekali label tersebut menyebar dan menjadi bahan olokan teman sebayanya.
  4. Bagi anak remaja yang tidak nyaman dengan label tersebut, seringkali ia melampiaskan perasaan tidak nyaman tersebut dengan protes. Jika ia dibilang nakal, maka ia justru bersikap seperti anak nakal sebagai tanda protesnya.
  5. Pada titik tertentu, label positif seperti anak manis, anak baik, dan anak pemberani memberikan hasil bagi anak. Namun jika label tersebut diberikan terlalu sering, maka anak merasakan beban yang berat pada pundaknya dan pada akhirnya akan hilanglah spontanitas dirinya.

Perasaan repot dan susah terhadap perilaku anak memang sangat wajar dialami oleh para orangtua dan guru, akan tetapi pastikan bahwa kita tidak mengeluarkan label-label negatif yang membuat kita lebih susah di kemudian hari karena mereka mulai meyakini label yang kita sampaikan.

Bersikap tenang, ramah dan berbicara apa adanya tentang perasaan kita atas perilakunya yang merepotkan dan menyusahkan akan jauh lebih memudahkan kita dikemudian hari.

Miftahul Jinan, M. Pd.I., LCPC

Direktur Griya Parenting Indonesia

Disadur dari buku “Alhamdulillah Anakku Nakal”