Malam itu anak kami yang pertama baru tiba dari pondok setelah enam bulan melewati masa belajarnya untuk liburan akhir tahun. Sebagai orangtua kami tentu telah menunggu kedatangannya dengan suka cita. Apalagi Ia menunjukkan semangat belajar selama masa mondoknya.
Beberapa keperluan di rumah juga sudah kami siapkan, tempat tidur yang bersih, selimut dan bantal, lemari baju dan lain-lain. Tidak lupa kami juga memberi arahan detail kepadanya tentang kamar mandi beserta peralatannya, meja makan beserta peralatan makan dan lain-lain. Ditengah-tengah kami bersemangat memberi arahan, tiba-tiba anak kami berkata,
“BI… Aku sekarang sudah besar.”
Astaghfirullah… Saya tersadar bahwa sikap kami kepadanya sungguh membuatnya tidak nyaman, karena Ia merasa diperlakukan seperti anak kecil. Lebih bijak seharusnya saya hanya berkata,
“Mas… Banyak perubahan di rumah kita. Jika memerlukan sesuatu dan tidak mengetahuinya, bisa minta tolong kepada Abi atau Ummi.”
Sikap kami pertama dengan menyiapkan semua kebutuhan anak dan menjelaskan kepadanya secara detail telah menempatkan putra kami yang sebenarnya berumur tiga belas tahun seperti anak kecil yang tidak mampu melakukan apapun kecuali dengan bantuan kita. Dan kita sering melakukannya atas nama kasih sayang dan rasa perhatian.
Padahal bagi anak justru merupakan proses penafian eksistensi dirinya. Mungkin bagi anak yang belum mandiri dan bertanggung jawab akan menerima dengan sikap terbuka, tetapi sebaliknya bagi anak-anak yang telah mandiri dan bertanggung jawab akan menolak mentah-mentah.
Sementara sikap yang kedua, dengan mengatakan banyak perubahan di rumah kita selama Mas mondok, jika memerlukan sesuatu dapat bertanya kepada Abi dan Ummi, telah menempatkan anak pada posisi yang berdaya dan dipercayai.
Untuk membangun sikap kedua ini sebenarnya masalahnya bukan pada anak-anak, tetapi justru masalah muncul dari para orangtua.
Siapkah kita semua kehilangan otoritas dan rasa manfaat di depan anaknya? Karena banyak dari orangtua masih memahami bahwa menyayangi dan memperhatikan anak adalah selalu membantu anak, padahal bagi anak-anak yang telah menginjak remaja, kasih sayang dan perhatian justru dibangun di atas rasa percaya dan memberi kepercayaan kepada anaknya untuk melakukan tugasnya sendiri.
Saat kita mempercayai dan memberi kepercayaan kepada mereka, maka mereka merasa eksistensinya diakui oleh sekelilingnya. Sebaliknya saat orang tua sulit mempercayai dan memberi kepercayaan kepada remajanya, sesungguhnya mereka akan mencari figur yang mau mempercayainya. Dan jangan salahkan jika mereka akan sangat loyal kepada orang yang telah memberi kepercayaan tersebut.
”Bi…….. Aku sekarang sudah besar.”
Miftahul Jinan, M.Pd.I., LCPC.
Direktur Griya Parenting Indonesia
Disadur dari buku “Anakku Hanya Pinter Sekolah”