Saya terperanjat ketika membaca sebuah kalimat pada cover belakang buku best seller Nanny 911 terbitan Hikmah Mizan yang bertuliskan: “Ingat, anak nakal tidak dilahirkan, tetapi diciptakan”. Pernyataan ini sangat identik dengan sebuah sabda Rasulullah: “Sesungguhnya setiap anak, dilahirkan dalam kondisi fitrah.” Tentunya fitrah disini dapat dimaknai tidak nakal dan tidak kriminal.
Akhirnya muncul dari pikiran saya sebuah pertanyaan, jika anak nakal tidak dilahirkan tetapi diciptakan, lalu siapakah yang menciptakannya? Dalam beberapa kesempatan tatap muka dengan beberapa orangtua saya biasanya memodifikasi pertanyaan yang lebih mudah dipahami oleh para orangtua : Mengapa putra-putri kita menjadi nakal ?.
Mendengar pertanyaan terakhir ini mayoritas orangtua menjawab karena pengaruh lingkungan, telah membuat mereka menjadi anak nakal. Sementara hanya sebagian kecil yang berani menyampaikan bahwa anak mereka menjadi nakal karena kegagalan mereka sebagai orangtua di dalam mendidiknya.
Jika kita termasuk yang menjawab pertama, tampaknya kita perlu merenungkan sebuah pertanyaan lanjutan, “Siapakah yang paling bertanggung jawab menempatkan anak-anak tersebut pada lingkungan yang membuat mereka nakal?”. Atau mungkin kita perlu merenungkan kelanjutan sabda Rasulullah di atas, “…. Kedua orang tualah yang membuat mereka menjadi Majusi, Nasrani, dan Yahudi.”
Dengan menjawab bahwa orangtualah yang telah membuat anak menjadi nakal, maka mereka menempatkan diri mereka sebagai subyek pendidikan anak. Dan mereka dapat memulai untuk melakukan perbaikan atas kenakalan anak dari diri mereka sendiri tanpa tergantung dan menunggu perbaikan lingkungannya. Sikap ini jelas akan mempermudah dan memperingan tugas pendidikan tersebut.
Sebaliknya bagi kita yang menjawab bahwa seorang anak nakal karena pengaruh lingkungan, maka ia telah menempatkan lingkungan sebagai subyek utama yang harus kita tunggu baiknya jika kita ingin memperbaiki putra-putri kita. Akhirnya kita sangat tergantung aspek eksternal di luar kemampuan kita untuk memperbaiki.
Permasalahan sebenarnya adalah tidak hanya siapa yang paling berpengaruh dalam munculnya kenakalan anak, tetapi banyak orangtua yang tidak menyadari bahkan tidak mengetahui proses perkembangan tahap demi tahap sebuah perilaku anak menjadi sebuah kenakalan baru.
Akhirnya kita sebagai orangtua hanya sadar saat sebuah kenakalan telah muncul dan mengkristal. Sementara sumber kenakalan itu sendiri, seringkali tidak mampu diidentifikasi oleh orangtua.
Suatu hari saya mengajak ketiga putra saya untuk belanja ke sebuah supermarket. Setiap anak saya ajak untuk berdialog tentang makanan atau minuman yang boleh mereka ambil saat berbelanja.
Anak pertama lebih memilih susu kotak coklat, sedangkan anak kedua lebih memilih makanan ringan (snack) gurih. Kami kurang setuju dengan makanan yang dipilih anak kedua, karena ia dalam kondisi sakit batuk. Dengan dialog dan tawar menawar anak kedua akhirnya memilih susu bantal Real Good. Anak ketiga tidak kami tanya karena masih berumur 18 bulan.
Setiba di supermarket yang kita tuju, anak pertama langsung menuju tempat susu kotak coklat tanpa komentar dan keraguan. Anak kedua sangatlah berbeda karena ia terlebih dahulu mengitari seluruh ruangan supermarket dengan selalu memegang benda-benda yang menarik hatinya. Hingga akhirnya ia berhenti pada lemari es krim dan langsung meminta kami untuk membelikannya.
Respon kami terhadap permintaannya adalah mengingatkannya kembali tentang apa yang telah ia pilih saat masih di rumah, yaitu susu bantal. Ia mulai memaksa kami untuk menggantinya dengan es krim. Kami pun tetap konsisten terhadap pilihan semula yaitu susu bantal, toh es krim dapat membuat sakit batuknya semakin keras.
“Mas Faruk telah memilih susu bantal, bukan es krim, maka silahkan ambil susu bantal bukan es krim.”
Permintaan tersebut membuat anak kedua kami menangis dengan keras, kami tetap meresponya dengan tenang dan konsisten pada pilihannya semula yaitu susu bantal. Anak kami meningkatkan volume tangisannya semakin keras dengan gerakan-gerakan yang dapat merusak beberapa benda sekitarnya.
Beberapa pengunjung supermarket telah mulai berkumpul sambil menanyakan mengapa anak kami menangis. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan, akhirnya kami menyerah dan mengabulkan permintaan untuk mengambil es krim, diikuti oleh kakaknya yang sebenarnya memang lebih memilih es krim dari pada susu kotak coklat.
Pelajaran yang diterima anak-anak kami atas keputusan di atas bahwa menaikkan volume tangisan dapat mempermudah seseorang untuk mendapatkan apa yang ia senangi dan orangtua saya dapat ditawar dan ditekan dengan tangisan yang lebih keras.
Sehingga dapat dipastikan pada kemudian hari ia akan mengulangi peristiwa di atas, bahkan pada level yang lebih tinggi, karena ia telah mempunyai pengalaman sukses pada peristiwa lalu.
Mungkin kita pernah mengalami kasus serupa dengan peristiwa di atas. Bersikap konsisten pada keputusan awal, menahan emosi untuk tidak marah dan bersikap tegas menjadikan anak belajar bahwa tidak semua keinginan mereka bisa didapatkan dengan sikap-sikap yang kurang baik. Mereka mendapatkan apa yang mereka suka dan butuhkan dengan cara-cara yang baik dan bijaksana.
Cerita lain adalah tentang pengalaman seorang ayah dan putranya yang aktif dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Sebut saja sang ayah bernama Mukhlas dan sang anak yang berumur 12 tahun bernama Sholeh.
Seringkali sholeh di rumah bersikap manis dan baik, tetapi kadangkala sikapnya berubah menjadi sangat bersemangat, aktif dan berisik. Ayahnya, pada awalnya dengan tenang dan bijak meminta Sholeh untuk bermain lebih tenang dan sopan. Permintaan awal bapaknya ditanggapi oleh Sholeh dengan tenang, ia sama sekali tidak mengacuhkannya.
Ronde berikutnya Mukhlas meninggikan suaranya, “Diam! Kalau tidak bisa diam kamu harus masuk ke kamarmu.” Sholeh menjawab dengan tenang, “Oke Boss.” Ia tidak berusaha sungguh-sungguh untuk diam. Akhirnya, Mukhlas marah dan berteriak, “Kalau kamu tidak diam sekarang ini juga, aku ambil ikat pinggangku.” Kali ini Sholeh menjadi tenang dan tetap tenang dalam beberapa jam.
Marilah kita menganalisa apa yang telah dipelajari oleh Sholeh dari peristiwa ini. Boleh jadi Sholeh berkata dalam hati,
“Aku belajar bahwa aku tidak usah melakukan apa yang diminta oleh ayah untuk pertama kalinya. Aku bahkan tidak perlu berbuat banyak kalau ayah meninggikan suaranya. Aku tidak perlu melakukan apa-apa sampai ayahku mulai ngomong soal ikat pinggangnya. Itu baru tandanya ayahku serius.”
Anehnya yang belajar tentang peristiwa di atas bukan hanya anak, bahkan orangtua barangkali juga belajar darinya. Pak Mukhlas berkata dalam hati,
“Satu hal yang aku pelajari adalah permintaan dengan tenang dan ancaman-ancamanku tidak membawa hasil. Marah dan ikat pinggang yang membawa hasil. Untuk selanjutnya aku tidak usah melewati tahapan-tahapan yang tidak membawa hasil, langsung saja pada tahapan terakhir yaitu marah dan mengeluarkan ikat pinggang.”
Banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa cara-cara mereka bereaksi terhadap persoalan anak dan perilaku mereka adalah inti dari persoalan itu sendiri. Seperti sikap Sholeh yang tidak langsung mengikuti permintaan ayahnya justru dikarenakan cara ayahnya yang meminta padanya tanpa ada tindak lanjut.
Ada pelajaran lain dari peristiwa di atas, bahwa jika setiap kali kita hanya menggunakan hukuman untuk mengendalikan suatu kenakalan, maka kita akan mendapatkan suatu pola daur ulang kenakalan tersebut.
Mukhlas mengancam Sholeh beberapa kali, tapi Sholeh tetap tidak mematuhi ayahnya. Mukhlas marah dan mengambil ikat pinggang. Sholeh menjadi tenang untuk sementara. Cepat atau lambat, ia akan mulai berisik lagi. Barangkali dalam satu atau dua jam ia akan tenang. Akan tetapi kenakalan itu terulang karena di lain kali ia akan lolos lebih lama daripada yang terakhir kalinya.
Sebagai ayah, Mukhlas harus bersikap konsisten. Saat ia meminta putranya untuk tenang, maka ia harus menindaklanjuti dengan konsekuensi logis, misalnya mengambil peralatan mainnya atau mengurangi hak-hak istimewa di rumah. Setiap kali penolakan terjadi, ia cukup mengambil peralatan atau mengurangi satu hak istimewa di rumah tanpa mengancam dan membentaknya.
Anak nakal bukanlah dilahirkan tetapi ia diciptakan. Pastikan keluarga kita bukanlah sebagai lembaga yang memproduksi anak-anak nakal karena perhatian kita yang kurang terhadap anak-anak tersebut.
Miftahul Jinan, M.Pd.I., LCPC
Direktur Griya Parenting Indonesia
Disadur dari buku “Alhamdulillah Anakku Nakal”