Anakku Pahlawan bagi Temannya, tapi Musuh untuk Dirinya

Ustadzah, sebagai orangtua saya mungkin salah, tapi sebenarnya saya hanya ingin yang terbaik untuk anak saya. Ini soal anak saya yang pertama, kelas satu SMA. Saya sedang berusaha mengingatkan anak perempuan saya agar tidak selalu memberi bantuan kepada teman-temannya yang minta tolong.

Memang anak saya yang pertama empatinya tinggi sekali, sehingga teman-temannya sering minta tolong, dan dia selalu berusaha sekuat tenaga membantu mereka. Anak saya ini adalah pendengar yang baik, jadi banyak sekali teman-temannya yang suka curhat, mulai dari masalah pelajaran, masalah teman, masalah cowok, sampai masalah rumah tangga orangtuanya.

Teman-temannya bilang, anak saya pandai menasehati dan memberi semangat. Tapi saya tidak suka anak saya menerima telepon atau sms sampai waktu belajarnya di malam hari terganggu. Hal lain yang juga mengganggu adalah sikap berkorban untuk temannya, mulai dari membereskan kelas, mengurus fotokopi materi untuk kelas, mengerjakan tugas kelompok, dan berbagai macam kegiatan yang membuat anak saya selalu pulang lebih akhir dari teman-temannya, sehingga dia juga sering terlambat tiba di rumah. Kasihan, dia ‘kan capek.

Anak saya memang seperti pahlawan bagi teman-temannya, tapi ketika tugasnya terbengkalai karena mengerjakan banyak hal, ketika dia terkantuk-kantuk belajar di malam hari, saya rasa dia sudah mendhalimi dirinya sendiri, dan itu artinya dia jadi musuh bagi dirinya sendiri.

Saya mohon sarannya ustadzah, bagaimana cara mengingatkan dia tapi tidak sampai menyakiti hatinya, karena anak saya ini sangat sensitif.

Saran kami yang pertama adalah mengambil sisi positifnya dulu, yaitu melihat sikap pahlawan putri ibu sebagai modal besar dalam kehidupan, tidak banyak lho anak yang punya sikap empati dan keterampilan sosial untuk menasehati orang seperti itu.

Dengan melihat sisi positif ini, kita diingatkan untuk selalu bersyukur kepada Allah atas karunia putri berhati lembut seperti dia, sekaligus mengingatkan kita sebagai orangtua untuk berusaha menjaga agar sikap baik semacam itu tidak luntur dari dirinya.

Saran yang kedua, mengingat anak ibu yang sensitif, cara berkomunikasi yang bersifat dialogis adalah yang sesuai. Siswa SMA masuk dalam kategori remaja yang sudah bisa diajak untuk berpikir logis. Berikut ini tips untuk melakukan komunikasi dialogis tersebut:

  • Menempatkan diri sebagai teman bagi anak, dan menghindari gaya orangtua menasehati.
  • Menanyakan alasan-alasan anak selalu menolong teman dan tidak pernah menolak
  • Menceritakan secara terbuka kekhawatiran tentang mendhalimi diri sendiri karena berkorban demi teman
  • Mengungkapkan harapan orangtua agar anak mempertimbangkan kepentingan pribadi selain menolong teman
  • Memberikan usulan tentang cara-cara yang dapat membuat dirinya bisa berubah.

Cara teknis untuk melakukan perubahan pada putri ibu adalah mengenalkan manajemen prioritas dalam beraktivitas, dimana anak belajar membuat ukuran atau skala pentingnya suatu kegiatan dan kemudian melaksanakan aktivitas dengan mendahulukan yang penting atau menjadi prioritas.

Misalnya, anak boleh membantu merapikan kelas, namun mengajak teman-temannya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama. Anak boleh terima telepon dari teman, dengan rentang waktu tertentu misalnya setelah shalat magrib sampai menjelang isya, setelah itu anak masuk belajar. Anak boleh membantu teman, selama tugas-tugas pribadinya sudah selesai.

Putri ibu juga perlu didampingi untuk berkomunikasi dengan temannya tentang bagimana menolak sesuatu, dalam bahasa psiklogi latihan bersikap asertif. Misalnya, dengan mengajarinya minta maaf pada teman karena belum bisa menolong saat ini, dan minta tolong untuk tidak telepon lama karena dia harus belajar.

Sebagai awalan, berilah kepercayaan untuk mencoba sendiri, jika dalam rentang waktu lebih dari dua minggu belum ada perubahan, ibu atau bapak boleh membantu memberi contoh. Misalnya, ketika telepon berbunyi, yang mengangkat telepon adalah ibu, berikan contoh yang konkrit tentang cara menolak sebuah ajakan teman dengan halus, biarkan putri ibu melihat, dan pada kesempatan berikutnya mencontoh cara tersebut.

Setiap kali ingin mengingatkan putri ibu, selipkan masalah nilai, yaitu muslim yang baik memang suka meonolong orang lain, dan muslim yang baik juga tidak akan mendhalimi dirinya sendiri. Semoga saran ini bermanfaat, dan selamat mencoba.

Bunda Ani Christina

Tim Ahli Tumbuh Kembang Anak Griya Parenting Indonesia