PERTANYAAN
Ustadzah, saya ingin menanyakan masalah perilaku anak saya. Anak saya yang pertama laki-laki, kelas 5 SD. Mungkin ini keluhan umum para orangtua, karena anak saya kalau sudah di rumah malas belajar, alasanya capek sekolah seharian, terus maunya main game atau nonton televisi.
Selain itu kalau disuruh sholat atau mengaji, juga agak malas, mau sih tapi sering ditunda-tunda karena bermalas-malasan. Kami sudah beberapa kali ganti guru les di rumah, tetap saja dia malas, katanya nggak cocok. Kata anak saya, dia mau belajar kalau saya temani atau papanya.
Saya sebagai ibu bekerja agak lelah jika malam hari untuk mengajarinya. Lagipula saya tidak begitu paham materinya. Bagaimana cara mengajari anak, jika saya sendiri tidak memahami materinya. Papanya sering dinas ke luar kota, jadi waktunya sedikit dengan anak-anak. Sebenarnya guru les seperti apa sih yang cocok untuk anak? Apa yang harus saya lakukan dengan kondisi ini? Atas perhatian dan sarannya, saya mengucapkan terimakasih.
JAWABAN
Masalah pertama adalah tentang malas belajar. Langkah pertama, tentunya kita perlu berempati dengan sikap malas belajar, karena alasan anak ibu jelas dan logis : lelah sekolah seharian. Maka biarlah dia memiliki waktu untuk beristirahat dan melakukan kegiatan yang menyenangkan atau refreshing. Main game boleh, nonton televisi juga boleh asalkan tidak berlebihan, tidak sampai larut malam, secara umum batas toleransinya di hari sekolah adalah 1-2 jam.
Langkah kedua, menyediakan suasana belajar yang nyaman. Cerita ibu tentang berganti-ganti guru les menunjukkan bahwa suasana belajar dengan guru les tidak nyaman buat dia. Jika terdapat pernyataan anak hanya mau ditemani orangtuanya, artinya anak memang tidak butuh guru les, dia butuh orang tuanya.
Dalam beberapa kasus serupa yang pernah kami tangani, ini adalah salah satu indikator anak sedang butuh perhatian. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat ibu bekerja dan bapak juga sering ke luar kota. Jadi, dalam kondisi yang lelah mari mencoba untuk menemani anak belajar.
Kita masih berharap anak belajar walaupun dia sudah sekolah seharian. Jadi anak juga berhak minta ditemani orangtua walaupun seharian sudah bekerja. Dalam hal ini cara komunikasi sangat penting untuk menciptakan persepsi nyaman buat anak.
Bahasa komunikasi satu arah, gaya ngomel khas ibu-ibu, atau perintah dengan nada tinggi perlu dihindari. Kalimat persuasif dan dialog dua arah akan lebih memotivasi anak. Misalnya seperti : Sayang, anak mama yang cakep,masih capek ya, istirahat dulu ya, nanti kalau sudah nggak capek mama temeni belajar ya.
Langkah ketiga, mendorong anak untuk belajar secara mandiri. Ibu tidak harus mengajari anak, tapi perlu mendorongnya untuk belajar mandiri dengan ibu tetap disampingnya sebagai bentuk perhatian.
Ibu tidak harus mempelajari materi, tapi perlu membantunya bisa mempelajari sendiri serta memotivasinya untuk belajar mandiri. Misalnya, mendorong anak untuk membaca ulang materi, mendorong anak berlatih soal yang ada di buku, mendorong anak untuk mencari informasi dari sumber lain, seperti kamus, ensiklopedi, internet, atau bahkan mengenalkan pada orang-orang yang bisa dihubungi lewat telepon untuk ditanyai.
Belajar juga tidak perlu waktu lama, 30 menit-1 jam di malam hari cukup asalkan konsisten, toh anak sudah sekolah seharian.
Masalah kedua, tentang menunda sholat. Khusus untuk masalah ibadah dan akhlak, faktor teladan dan pembiasaan adalah sesuatu yang mutlak. Jika bapak terkondisi sering tidak ada di rumah, maka sisa waktu yang ada di rumah dioptimalkan untuk menunjukkan keteladan, sebab biasanya anak laki-laki sangat dipengaruhi oleh figur ayahnya.
Dalam hal ini peran bapak sangat diharapkan untuk membimbing anak dalam hal ibadah, misalnya dengan mengajak anak ke masjid atau membaca Al Quran bersama ketika di rumah. Jika sedang tidak di rumah, komunikasi lewat telepon minimal perlu dilakukan untuk menjaga persepsi terhadap figur. Anak merasa masih diperhatikan sehingga tetap termotivasi meskipun secara fisik tidak ada.
Peran ibu tentunya tetap diperlukan sebagai penguatan. Hampir sama dengan masalah belajar, kuncinya pada proses komunikasi.
Tahap pertama, mengingatkan dengan menggunakan bahasa non verbal. Misalnya, ketika adzan terdengar kita bisa berdehem sambil lewat di samping anak.
Tahap kedua, mengingatkan dengan menggunakan pertanyaan. Misalnya, ketika kita berdehem namun anak tidak beranjak juga dari tempat duduknya, kita bisa bertanya : “Sayang, kalau adzan sudah terdengar, apa yang mesti kita lakukan ya?”
Tahap ketiga, melakukan komunikasi verbal yang lebih jelas. Misalnya : “Sayang, anak yang sholeh itu kalau sudah dengar adzan akan segera berangkat sholat, jadi kalau sedang main game ya gamenya dimatikan, oke?”
Tahap keempat, terkadang komunikasi dengan bahasa verbal yang tegas masih direspon anak dengan ogah-ogahan. Maka kita perlu menambah dengan sentuhan fisik yang dapat menyentuh hatinya. Kita bisa tepuk pundaknya, rangkul dia sambil berkata tegas bahwa ini waktunya sholat.
Penolakan anak perlu kita respon dengan sikap tegas dengan komunikasi yang baik, kita bisa pegang tangannya sambil berkata permisi ya sayang, mama bantu matikan gamenya ya, karena ini waktunya sholat. Lalu kita gendeng tangan anak menuju tempat wudhu.
Pada umumnya, setiap keluarga memiliki kondisi unik, seperti kondisi bapak dan ibu bekerja yang mungkin melahirkan beberapa masalah. Mungkin keluhan ini ibu nilai sebagai sesuatu umum, namun ibu tetap memikirkan dan mencari solusi.
Ini adalah usaha sebagai bentuk ikhtiar kita sebagai orangtua disamping senantiasa berdoa untuk kebaikan anak-anak. Insya Allah, setiap orangtua yang mau belajar akan mendapati anak-anaknya lebih baik dari waktu ke waktu.
Bunda Ani Christina
Tim Ahli Tumbuh Kembang Anak Griya Parenting Indonesia