Jika Ingin Madunya, Jangan Rusak Sarangnya

Dalam rentang sejarah Islam, Rasulullah SAW pernah menyampaikan dakwah kepada sebuah Kabilah Tsaqib di Thaif. Harapan dan keinginan beliau terhadap keislaman kabilah ini sungguh sangat besar. Namun, sesampainya beliau di Thaif dan mulai menyampaikan dakwahnya, beliau justru menjumpai respon yang kurang baik. Bahkan kabilah ini melempari beliau dengan batu dan benda lainnya hingga beberapa bagian tubuh beliau terluka dan mengeluarkan darah.

Merasa dakwah tidak diterima bahkan direspon dengan lemparan dan penolakan, beliau kemudian kembali ke Makkah. Di tengah perjalanan, beliau beristirahat di kebun kurma milik ‘Utbah bin Rabi’ah. Saat itulah datang Malaikat yang menawarkan kepada beliau untuk menghancurkan kabilah yang kafir tersebut.

Dengan tenang beliau menolak permintaan tersebut. Bahkan beliau akhirnya mendoakan mereka,

“Tidak usah, Aku malah berharap mudah-mudahan Allah SWT berkenan memunculkan dari kalangan mereka sendiri seseorang yang akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”

Rasulullah SAW. sebenarnya mempunyai kesempatan dan hak untuk menghancurkan Kabilah Tsaqif melalui tawaran malaikat tersebut. Apalagi dengan segala penolakan dan penganiayaan yang telah mereka lakukan terhadap beliau.

Namun, beliau tidak mengambil kesempatan dan hak tersebut tetapi justru menggantinya dengan doa dan harapan semoga kabilah tersebut mendapatkan hidayah untuk menerima dakwah Islam. Kita membaca dalam sejarah Islam bahwa Kabilah Tsaqif akhirnya mendapatkan hidayah dan masuk agama Islam.

Mungkin dalam kehidupan berkeluarga kita pernah melihat perilaku kurang baik anak kita, seperti membanting kursi saat marah atau terlambat pulang dari bermain sepak bola. Kita mempunyai kesempatan untuk segera menegur dan mengkritik perilaku tersebut.

Namun, pernahkah kita berpikir bahwa teguran dan kritikan langsung lebih baik kita lakukan daripada mengambil jeda waktu dan mencari kesempatan yang lebih tenang untuk mengajak anak berdialog  tentang perilakunya tersebut?

Saya pernah menjumpai anak saya yang masih kelas 3 SD belum melakukan shalat isya malam itu. Tiba-tiba pada waktu imsak menjelang shubuh ia bergegas bangun dan segera mengambil air wudlu dan menjalankan shalat isya.

Setelah shalat, saya terdorong untuk menegurnya dan memperbaikinya tetapi dorongan tersebut akhirnya saya tahan karena muncul pikiran yang baru. Anak saya telah berusaha untuk melaksanakan kewajibannya dan ia masih menunjukkan penyesalannya dengan berusaha tetap shalat isya pada menit-menit akhir.

Sore harinya saya berdialog dengannya alasan ia melaksanakan shalat isya menjelang shubuh. Ia lebih menerima hasil dialog tersebut dan berusaha untuk melaksanakan shalat isya terlebih dahulu sebelum tidurnya.

Setiap manusia, termasuk anak-anak kita, mempunyai sisi-sisi negatif dan sisi-sisi positif. Saat kita hanya terfokus pada sisi negatif untuk mulai melakukan perbaikan, sebenarnya ia telah mengembangkan konsep defence untuk menolak perbaikan dari kita.

Saat kita mulai menyentuh aspek positif pribadinya, kemudian aspek tersebut kita jadikan sebagai jembatan untuk memperbaikinya, ia akan cenderung menerima perbaikan tersebut karena telah tumbuh pemikiran di dalam dirinya bahwa ia adalah pribadi yang patut dihargai walaupun masih perlu diperbaiki.

Al Capone, pemimpin geng paling kejam dan pernah membantai masyarakat di Chicago, tidak menerima ucapan masyarakat bahwa ia adalah penjahat berdarah dingin dan musuh masyarakat. Dalam sebuah kesempatan justru ia mengatakan tentang dirinya,

“Saya adalah dermawan yang tidak dihargai dan dimengerti secara keliru.”

Jika Al Capone dengan sederet kekejaman dan kekerasannya tidak merasa bersalah, apalagi anak-anak kita yang mungkin melakukan sedikit kesalahan tanpa mereka sengaja. Ia akan lebih tidak menerima kritikan dan teguran keras atas perilakunya tersebut.

Saya pernah bertemu dengan seorang ibu di Solo. Si ibu curhat tentang perilaku putranya yang telah menyelesaikan studi SMU dua tahun lalu. Ia mengeluhkan kondisi anaknya sekarang yang tidak mau kuliah, tidak mau bekerja, dan setiap hari hanya bermain-main dengan teman-teman seusianya.

Ibu tersebut menceritakan dengan detail setiap perilaku-perilaku negatif dan rasa jengkel terhadap anaknya. Setelah satu jam berlalu saya mendengarkan seluruh curhat tersebut, akhirnya saya memotong pembicaraannya.

“Mohon maaf Ibu, saya memotong. Tolong Ibu sampaikan kepada saya tiga kebaikan anak Ibu!”

Seakan mendengar petir yang tiba-tiba menyambar, Ia terkejut dengan pertanyaan saya. Dengan susah payah ia bercerita tentang tiga kebaikan putranya.

Di akhir pertemuan tersebut saya menyampaikan bahwa sebenarnya sumber masalah yang membuat putranya seperti sekarang ini adalah karena Ia selalu fokus pada aspek-aspek negatif putranya. Ia bahkan kesulitan untuk menyebutkan aspek positif putranya.

Untuk membangun sebuah bangunan, kita tidak harus merusak bangun yang sudah ada. Untuk mendapatkan madu, kita tidak harus merusak seluruh sarang lebah. Mari kita memperbaiki perilaku anak-anak kita dimulai dari kebaikan-kebaikan yang mulai mereka tunjukkan. Mereka adalah pribadi yang perlu dihargai walaupun masih perlu diperbaiki.

Miftahul Jinan, M. Pd.I., LCPC

Direktur Griya Parenting Indonesia

Disadur dari buku “Tips Instan Mendidik Anak”