Sebentar lagi santri-santri kita atau putra-putra kita yang saat ini belajar di pesantren akan menjalani masa liburan. Bagi kita yang menjadi pengasuh atau ustadz di pesantren tentu akan muncul perasaan dag dig dug sekaligus berharap semoga mereka tetap istiqamah di dalam menjalankan kebiasaan-kebiasaan positif selama masa liburan di rumah.
Sedangkan bagi kita para orangtua, ini momen yang sangat menyenangkan bertemu kembali putra-putri tercinta kita. Sudah banyak rencana untuk mereka dan banyak tempat yang akan kita kunjungi untuk menyenangkan mereka. Sebagai bentuk “balas dendam” karena tidak bisa melayani mereka selama mereka belajar di pesantren.
Bersyukurlah bagi kita yang menjumpai santri-santri tersebut selama masa liburan di rumah menunjukkan sikap-sikap yang baik bahkan lebih baik daripada sikap mereka di pesantren. Mereka masih menjaga shalat jamaahnya, tilawahnya, dan selalu ringan tangan untuk membantu kedua orangtuanya.
Namun jika memang kondisi menunjukkan sebaliknya, mereka mulai kehilangan shalat jamaah dan tilawahnya serta malas membantu orangtua dalam pekerjaan rumah, tetaplah tenang dan mari kita mencoba menganalisa mengapa mereka bisa bersikap demikian?.
Ada beberapa hal yang nampaknya dapat kita jadikan sebagai bahan analisa sikap mereka tersebut, di antaranya :
1. Menganggap Liburan sebagai Masa Kebebasan
Beberapa santri memandang bahwa kehidupan di pesantren laksana hidup di penjara penuh dengan aturan dan hukuman. Dengan pemahaman ini maka mereka berpendapat bahwa masa liburan adalah masa kebebasan mereka dari kehidupan penjara.
Mereka cenderung bertolak belakang dengan apa yang biasa mereka lakukan selama di pesantren. Kondisi ini diperparah dengan paradigma orangtua bahwa “biarkan anak-anak menikmati liburan mereka sebebas mungkin, toh sebentar lagi mereka akan kembali ke pesantren”.
Menghadapi pemahaman yang salah ini tentu pihak pesantren harus menjelaskan baik kepada para santri maupun kepada orangtua, bahwa liburan justru masa untuk membuktikan bahwa selama di pesantren mereka telah belajar banyak kebaikan, dan ini saatnya mempraktekkannya.
2. Tidak Sadaran terhadap Pentingnya Membiasakan Hal Positif
Beberapa santri melakukan kebiasaan yang baik di pesantren baru sebatas karena diperintah oleh agama atau oleh peraturan pesantren, belum pada manyadari pentingnya kebiasaan tersebut dan apa manfaatnya bagi mereka.
Dengan kualitas pemahaman yang seperti itu tentu mereka belum mempunyai pendorong dari dalam diri mereka untuk selalu melakukan kebiasaan tersebut kapanpun dan di manapun. Di sinilah tantangan muncul bagi pesantren bagaimana memberi pemahaman yang kuat pada diri santri dan membangun kebutuhan akan pentingnya kebiasaan-kebiasaan positif tersebut
3. Faktor Perbedaan Lingkungan
Beberapa santri melakukan aktiftas yang baik di pesantren karena faktor lingkungan. Ada ustadz-ustadz dan kakak kelas yang selalu memberi contoh aktifitas yang baik tersebut dan teman-teman yang selalu mendorong untuk melakukannya.
Sementara saat mereka di keluarga mereka tidak mendapatkan hal-hal di atas. Tentu tantangan ini harus berani dihadapi oleh para orangtua untuk membangun kesepakatan di hari pertama liburan bahwa selama masa liburan ada beberapa aktifitas yang harus tetap dilakukan oleh anaknya seperti membaca alquran, shalat Jamaah di awal waktu dll.
Walaupun beberapa aktifitas yang lain bisa mereka tinggalkan seperti mencuci pakaian sendiri karena ada laundry. Bahkan selama liburan mereka juga harus menunjukkan beberapa aktifitas baru sebagai bentuk hormat dan taat sama orangtua. Mari kita para orangtua membantu anak kita dengan menyediakan lingkungan di rumah yang memastikan mereka tetap baik seperti di pesantren.
4. Orangtua Tidak Membuat Kesepakatan dengan Anak
Saya banyak mendapatkan data yang luar biasa dari para orangtua yang puntranya mondok, bahwa ada perubahan yang terjadi saat anaknya mulai memegang hand phone selama mereka liburan. Masalah keengganan mereka untuk membantu orangtuanya, shalat dan aktifitas selalu disuruh-suruh, dan menghindar untuk berinteraksi dengan tetangga bahkan saudaranya.
Kondisi ini tentu dapat diminimalisir dengan membangun kesepakatan saat anak menerima hand phone tersebut untuk pertama kalinya. Kesepakatan tersebut dapat berapa waktu penggunaannya, konten yang boleh diakses, etika menggunakan hand phone dan lain-lain.
Liburan santri adalah masa istirahat, mari kita kembali kepada definisi tentang “istirahat” adalah pergantian aktifitas bukan “bebas” dari aktifitas.
Miftahul Jinan, M.Pd.I., LCPC
Direktur Griya Parenting Indonesia