Mama, Izinkan Aku Membuat Kesalahan

Hari itu saya berkesempatan mendampingi putra pertama saya mengikuti lomba mewarnai di sekolahnya. Semua anak diminta untuk membawa peralatan gambar, seperti krayon dan meja lipat. Mereka terlihat sangat bersemangat  mengikuti lomba tersebut, begitu pula orangtua mereka.

Panitia lomba mulai membagikan kertas putih yang berisi sketsa gambar kereta kencana berwarna hitam. Sesaat kemudian bel tanda lomba berdentang. Semua anak mulai sibuk dengan tugas mereka masing-masing.

Ada yang memulai memberi warna dari bagian kepala gambar, sementara sebagian yang lain memulai dari bagian gambar rumput-rumput kecil di bawah kereta. Semua terlihat fokus dan konsentrasi pada kertas dan krayon mereka.

Saya sendiri hanya mengawasi dari jauh semua kegiatan tersebut tanpa mendampingi anak saya dari dekat, karena umminya memang telah mendampinginya. Ditengah-tengah kegiatan tersebut, tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang ibu muda yang tengah mendampingi anaknya.

Ibu tersebut sangat antusias mengawasi setiap proses yang dilakukan oleh anaknya. Seringkali ia memberikan instruksi kepadanya tentang teknik memberi warna yang tidak boleh melewati garis. Ia mengomentari warna rumput anaknya yang sudah terlanjur diberi warna biru. Ia juga yang menentukan jenis warna untuk warna roda kereta atau warna bagian lainnya.

Mengamati perilaku ibu tersebut dan respon anaknya terhadap intervensi orang tuanya, muncul pertanyaan dalam pikiran saya, “Siapakah sesungguhnya yang mengikuti lomba? Anak atau orang tuanya?”

Banyak orang tua tidak menyadari betapa seringnya mereka memaksakan pendapat, memrotes, dan turut campur pada kegiatan-kegiatan yang sebenarnya semua itu menjadi otoritas anak. Mereka tidak rela jika anaknya melakukan kesalahan sehingga sebelum terjadi kesalahan tersebut mereka berusaha untuk melakukan upaya-upaya pencegahannya. Mereka juga memaksakan konsep salah dan benar sesuai perspektif orang dewasa.

Padahal, sebenarnya ketika seorang anak mewarnai di luar garis dan menekan krayonnya terlalu kuat pada kertas bukan berarti mereka sedang membuat kesalahan dan berniat untuk melakukan itu semua. Namun, motorik halusnya mungkin belum sempurna sehingga mereka belum mampu untuk mewarnai gambar sesuai garis yang telah ditentukan dan menekan krayon sesuai kebutuhan warnanya.

Apa yang akan terjadi pada diri anak saat mendapati orangtuanya selalu memberi arahan dan teguran ketika dia hendak melakukan kesalahan seperti di atas?

1. Kehilangan Kesempatan Berlatih

Anak tidak mempunyai cukup kesempatan untuk berlatih dan memperbaiki kesalahan yang telah ia perbuat. Arahan dan teguran orangtua telah membuat mereka menahan diri untuk berlatih.

2. Kehilangan Watak Asli Anak

Arahan dan teguran yang terlalu banyak telah menghilangkan watak asli anak untuk mencoba dan mencoba. Mungkin arahan dan teguran saat lomba mewarnai telah memperbaiki sedikit kualitas pewarnaannya. Namun, di luar lomba ia sudah kehilangan semangat dan energi untuk menggambar dan mewarnai.

3. Tidak Merasa Bangga Kepada Dirinya

Jika ia mendapatkan hadiah dari lomba tersebut, ia tidak merasakan kebanggaan yang berarti karena sebenarnya yang melakukan lomba bukan  dirinya tetapi orangtuanya.

4. Menjadi Pribadi yang Kurang Mandiri dan Kurang Percaya Diri

Anak yang terbiasa diarahkan dan ditegur untuk tidak pernah melakukan kesalahan akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang mandiri dan kurang percaya diri. Ia selalu meminta petunjuk dan arahan kepada orangtuanya setiap kali membuat keputusan atas kegiatan yang akan ia lakukan.

Terlepas dari fenomena orangtua yang mendampingi anaknya dalam lomba mewarnai di atas, ada banyak alasan orangtua sering melakukan campur tangan yang tidak berguna saat anaknya melakukan beberapa kegiatan tertentu. Ada beberapa alasan orangtua melakukan intervensi terhadap anak, baik itu disadari atau tidak oleh orangtua.

  1. Orangtua tidak rela jika anaknya membuat kesalahan-kesalahan. “Begini seharusnya membuat istana pasir yang benar.”
  2. Orangtua ingin membanggakan hasil kerja anaknya. Mereka tidak bisa membanggakan hasil kerja anaknya kepada orang lain jika mereka membiarkannya membuat sendiri. Orangtua lebih mementingkan hasil akhir daripada perkembangan yang terjadi pada anaknya.
  3. Orangtua mempunyai ambisi tersediri untuk anak mereka.
  4. Orangtua sangat mementingkan pendapat orang lain tentang anak mereka. Biasanya orangtua ini sangat sensitif terhadap pendapat orang lain tentang ketidakmampuan anaknya jika dibandingkan dengan temannya.
  5. Orangtua ingin merasa selalu dibutuhkan oleh anaknya. Banyak orangtua memahami bahwa anak membutuhkan mereka jika anak masih tergantung kepada mereka.

Ketika anak belum menata buku secara rapi, bukan berarti ia telah melakukan kesalahan tetapi sebenarnya ia belum sempurna dalam menatanya. Latihan dan contoh yang baik dari lingkunganlah yang akan memastikan ia dapat menyempurnakannya.

Miftahul Jinan, M.Pd.I,. LCPC

Direktur Griya Parenting Indonesia

Disadur dari buku “Tips Instan Mendidik Anak”