Seorang ibu sedang mengamati anaknya, yang didiagnosis mengalami hiperaktivitas, sedang dipandu latihan motorik oleh seorang fisioterapis. Saat ini anaknya sedang meniti sebuah balok kayu. Sang ibu terbayang masa kecilnya ketika dia meniti pematang sawah di kampung halaman.
Dia berpikir bahwa dahulu dia berlatih hal yang sama bersama alam dengan gratis, dan saat ini dia harus membayar jutaan rupiah untuk biaya terapi agar anaknya mendapatkan solusi atas masalah ketidakoptimalan tumbuh kembangnya.
Sang ibu sempat berpikir untuk memberikan terapi pada anaknya sendiri di rumah, namun terbayang peran gandanya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai ibu bekerja begitu menyita waktu dan energinya. Dia mulai berpikir apakah perlu mengambil langkah yang sedang digalakkan beberapa komunitas wanita di dunia maya untuk menjadi full-time mom.
Mengingat hal tersebut, terbayang ibunya yang juga tidak bekerja, karena berperan sebagai wanita yang mengabdikan diri di rumah untuk mengurus anak dan suami. Tapi rasanya pilihan itu dibayangi rasa ketakutan bahwa kondisi jaman sekarang menuntut pasangan suami istri bekerja, agar tercukupi segala kebutuhan. Dia juga tidak dapat membayangkan, pendidikan master yang ditempuh dengan biaya banyak harus berujung sia-sia jika dia memilih menjadi ibu rumah tangga saja.
Terapi snoezelen adalah satu contoh fenomena di jaman sekarang yang di dalamnya ada budaya lama yang sudah kita tinggalkan. Terapi Snoezelen merupakan aktifitas yang dirancang untuk mempengaruhi sistem syaraf pusat melalui pemberian rangsangan pada sistem sensori primer anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, pembau, dan juga pada sisitem sensoris internal yaitu vestibular dan proprioseptif.
Dalam terapi tersebut mengandung latihan gerak tubuh yang menstimulasi perkembangan sensorik-motorik anak yang sebenarnya bisa kita dapat dalam berbagai macam permainan tradisional yang mungkin sudah jarang kita temukan, seperti main lompat tali, engkle, gobak sodor, membuat macam-macam bentuk dari tanah liat dan menyusun rumah pasir.
Terapi yang berharga mahal ini sebenarnya sudah ada dalam budaya lama kita. Andaikan kita dapat menghidupkan kembali budaya permainan anak di jaman dahulu, kita mungkin tidak perlu membayar mahal terapi untuk anak-anak kita yang tidak optimal perkembangannya.
Gerakan full-time mom juga adalah contoh budaya lama yang mulai digalakkan lagi. Beberapa dekade lalu, para suami adalah tumpuan pencari nafkah keluarga dan para istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus segala keperluan suami dan anak-anak. Pada waktu itu, para istri mengambil peran untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, menemani anak bermain dan membimbing anak belajar.
Pada jaman sekarang, para istri ikut menjadi tumpuan kedua dalam mencari nafkah sehingga perannya di rumah digantikan oleh pembantu rumah tangga, baby sitter, atau juga orangtua yang sudah berperan menjadi kakek dan nenek. Sebagian memilih sekolah fullday untuk ‘menitipkan’ anaknya selama seharian karena tergiur jaminan anaknya terdidik dengan baik selama mereka tinggal bekerja seharian.
Tentu saja pilihan ini berbiaya mahal, pembantu rumah tangga perlu digaji layak agar melakukan pekerjaannya dengan baik dan sekolah fullday yang dikenal bermutu bagus biasanya juga tidak murah harganya. Kita benar-benar telah membeli dengan harga mahal atas budaya yang telah kita tinggalkan.
Sekolah fullday yang dibeli dengan harga mahal ternyata juga mengandung budaya lama kita. Pelayanan utama sekolah ini tentunya adalah guru-guru tangguh, yang mendidik anak tidak hanya persoalan akademik tetapi juga menjanjikan pendidikan karakter, menemani waktu santai, dan membimbing anak belajar dengan penuh kesabaran layaknya berperan sebagai orangtua sendiri.
Pada jaman dulu, anak-anak sekolah setengah hari kemudian bermain dan belajar di rumah bersama para ibu mereka, sepulang kerja para ayah menyempatkan waktunya berdiskusi dengan anak-anak untuk mengontrol belajarnya serta menasehati tentang nilai-nilai kehidupan. Jadi, seolah-olah kita sedang membeli sesuatu yang sebenarnya sudah kita miliki pada masa lampau.
Anak-anak kita memang sungguh dimanjakan oleh jaman. Dahulu orangtua kita begitu bersusah payah memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga anak-anak harus membiasakan diri dengan hidup sederhana yang dihinggapi berbagai kesulitan.
Anak-anak pada jaman dahulu harus berjuang menempuh perjalanan yang tidak mudah karena jauhnya jarak dan minimnya angkutan untuk pergi ke sekolah, sekarang anak-anak dapat dengan mudah berangkat sekolah karena mengendarai kendaraan pribadi atau duduk manis dalam mobil antar jemput.
Anak-anak juga mendapatkan fasilitas nyaman, bahkan orang dibilang kurang mampu masih memiliki televisi dan kendaraan. Kenyamanan luar biasa didapat oleh anak-anak kalangan menengah ke atas dengan cukupnya makanan, suasana rumah dengan perabotan modern, tersedianya pembantu, uang saku sebagai kesenangan yang akhirnya semua itu ternyata menghambat pendidikan karakter mereka.
Anak-anak pada jaman dahulu didera kesulitan hidup, yang kemudian berjuang mencari penyelesaian masalahnya sehingga tumbuh menjadi pribadi tangguh dalam mengarungi kerasnya kehidupan.
Anak-anak yang dimanjakan oleh jaman sekarang tidak begitu mengenal yang namanya kesulitan karena sedikitnya pengalaman tentang ‘rasa sulit’ dalam hidup mereka, kemudian mereka menjelma menjadi generasi yng kurang mandiri, kurang punya daya juang, kurang termotivasi, berharap segalanya ada secara instan, dan ingin segalanya terlayani tanpa ada usaha keras.
Sedikit saja rasa sulit mendera, keluh kesah bermunculan dan sikap mudah menyerah menjangkiti. ”Ma, PR-nya susah, soalnya kebanyakan. Pa, mobil antar jemputnya mogok, aku nggak mau naik angkot. Mbak, kupasin mangganya aku nggak suka pegang pisau. Eyang, pijitin kakiku tadi aku kecapekan disuruh lari di sekolah.” Kemudahan, kenyamannan, minimnya pengalamanya tentang kesulitan membuat mereka menjadi pribadi lembek, dan kurang tangguh menghadapi masalah hidup.
Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan daya juang, beramai-ramai sekolah dan lembaga pelatihan menawakan program outbond training. Outbond training biasanya dilakukan di lingkungan alam terbuka, dimana anak-anak akan diajak melalui berbagai simulasi aktivitas fisik, seperti merayap, memanjat, melompat, meniti tali yang rata-rata ingin mengajarkan tentang keberanian, kemauan untuk mengambil keputusan, juga kerja sama kelompok sebagaimana iming-iming panitianya bahwa sepulang outbond training anak-anak akan memiliki motivasi untuk berjuang menyelesaikan masalah dan semangat untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri.
Produk outbond training ini tentu saja tidak murah harganya, padahal lihat saja apa yang ada di dalamnya, hampir semua bisa kita dapatkan pada aktivitas kita pada jaman dahulu. Meniti jembatan tali melewati sungai, berkelana di ladang para petani degan merayap dan merambat, naik tangga menuju rumah pohon, dan banyak sekali aktivitas kita jaman dahulu yang sama dengan aktivitas outbond training. Sayangnya, tinggal di kota membuat aktivitas ini menjadi sulit dilakukan, karena jarang ada pohon-pohon yang bisa dipanjat, sungai-sungai kotor tidak nyaman untuk bermain, hampir tidak adanya ladang atau sawah untuk berkelana.
Penggalan-penggalan cerita di atas penulis maksudkan sebagai perenuangan. Betapa banyak budaya lama yang telah kita tinggalkan, dan ternyata sekarang kita butuhkan dalam rangka mendidik anak-anak kita.
Anak adalah kepunyaan kita yang amat berharga, dan oleh karena itu berapapun biaya yang dibutuhkan untuk mendidik mereka menjadi baik akan kita usahakan. Namun jika kita bisa menghidupkan tradisi lama kita tanpa harus membayar mahal, mengapa tidak kita lakukan. Mari kita coba, demi anak-anak kita. Selamat hari anak nasional.
Bunda Ani Christina
Tim Ahli Tumbuh Kembang Anak Griya Parenting Indonesia