Sore itu anak ketiga kami begitu semangat untuk mengaji. Ia segera mengambil buku ngajinya dan membawa ke saya untuk meminta saya segera menyimaknya. Saya membuka kartu prestasinya dan melihat beberapa bintang di dalamnya. Berarti pagi tadi Ia ngaji dengan baik sehingga mendapatkan bintang. Saya akhirnya mengerti mengapa sore itu Ia begitu semangat untuk memulai ngaji.
Sejenak kemudian Ia telah membuka halaman buku ngaji yang harus Ia baca. Baris pertama ia dapat membaca dengan baik, namun pada baris-baris selanjutnya ia mengalami kesalahan yang sangat banyak. Akhirnya saya memintanya untuk memperbaiki bacaan berkali-kali. Ia menunjukkan sikap yang sangat tidak senang, Ia terlihat kurang sabar untuk mengulangi dan mengulangi lagi. Hingga Ia dapat meneyelesaikan dua halaman buku dengan banyak pengulangan. Sesaat kemudian Ia menutup buku ngajinya. Tiba-tiba astaghfirullah Ia membanting buku ngajinya di depan saya.
Sesaat kemudian saya tergagap melihat kenyataan yang benar-benar baru bagi saya, sambil menahan diri untuk tidak marah. Kemudian saya panggil anak saya dan memintanya untuk duduk di kursi tenang beberapa saat (satu bentuk sanksi untuk mendidik kontrol emosi). Ia menolak panggilan dan permintaan saya untuk duduk di kursi sanksi. Saya meminta kembali untuk datang dan duduk di kursi tenang. Namun Ia kembali menolak hingga tiga kali permintaan saya.
Sungguh untuk mendidik anak saya untuk sabar dan kontrol emosi kali ini saya dituntut untuk lebih sabar dan kontrol emosi. Akhirnya dengan mengucapkan bismillah dalam hati, saya angkat anak saya ke atas kursi tenang dengan lembut sambil mengucapkan, “Maaf adik, kamu harus duduk di kursi tenang karena melempar buku ngajimu”. Ia menangis sejenak dan kemudian Ia tenang serta mulai menyadari bahwa orang tuanya serius dengan ucapannya.
Seringkali orang tua diuji oleh anak pada titik yang sedang dididikkan pada anaknya. Sebagaimana saya diuji untuk lebih bersabar saat saya sedang mendidik anak kesabaran. Pada saat lain kita dituntut untuk lebih percaya pada anak di saat kita mendidik kepercayaan diri pada mereka. Orang lain sering juga diminta untuk lebih menghargai saat Ia mendidik anak untuk menghargai orang tuanya.
Bagaimana jadinya jika orang tua mendidik anaknya untuk lebih menghargai orang tuanya, lalu orang tua sendiri tidak menunjukkan sikap-sikap yang mencerminkan penghargaan mereka kepada anak. Niscaya anak akan mengalami kesulitan untuk mampu menghargai orang tuanya. Sebagaimana kita tersenyum pada orang lain, maka ia akan memberi seyuman kembali kepada kita. Sebaliknya jika kita mencibirnya, maka kitapun akan mendapatkan cibirannya.
Dan (ingatlah) ketika Luqman[6] berkata kepada anaknya[7], ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” – See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-luqman-ayat-12-19.html#sthash.zxjXvVp9.dpuf