Menghargai, Memberi Upah dan Menyogok

Melihat anak yang konsisten merapikan alat sekolahnya, atau bersegera pergi ke masjid saat mendengar adzan sebagai orangtua tentu kita akan segera memberi penghargaan kepadanya. Penghargaan tersebut dapat berupa pujian, sikap yang menunjukkan rasa senang, bonus aktivitas yang disenangi, hingga pemberian hadiah materi.

Dengan penghargaan tersebut kita berharap anak terdorong untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatan positif di atas di mana pada akhirnya saat anak-anak tersebut tumbuh dewasa, telah mempunyai kebiasaan yang baik, tanpa butuh dorongan dari luar dirinya.

Penghargaan juga dapat membangun self esteem. Aku adalah pribadi baik yang mampu melakukan hal-hal yang membuat orang lain terutama orang tuaku bangga terhadap diriku.

Memang penghargaan di atas adalah dorongan dari luar tetapi sebenarnya anak terdorong untuk segera pergi ke masjid saat adzan berkumandang karena Ia mempunyai kesadaran akan kewajiban bersegera ke masjid.

Sementara fungsi penghargaan adalah sebagai dorongan bagi anak untuk mengulangi perilaku positifnya atau penanda bagi anak bahwa setiap kali melakukan perilaku positif maka sikap orangtua baik terhadap dirinya.

Suatu hari anak kita datang kepada kita dan berkata, “Ma… Kalau nilai Matematikaku dapat lebih dari sembilan apa yang akan mama berikan kepadaku?” Kemudian kita sebagai orang tua mengatakan, “Mama akan kasih kamu tablet”. Anak kita akhirnya belajar rajin untuk mendapatkan tablet tersebut.

Mari kita mencoba merasakan dan membedakan energi yang menggerakkan anak untuk pergi ke masjid sesaat kumandang adzan dan energi yang mendorong anak untuk belajar Matematika dengan rajin.

Pada perilaku anak pergi ke masjid, Ia melakukannya karena itu adalah perintah dari Allah. Jika akhirnya Ia mendapatkan pujian atau hadiah barang, Ia tidak pernah terlalu memikirkan pada saat Ia memulai kegiatan tersebut. Dan inilah yang dinamakan menghargai anak.

Sementara pada perilaku anak rajin belajar Matematika dorongannya adalah mendapatkan tablet jika mendapatkan nilai yang diharapkan. Dan inilah yang dinamakan memberi upah pada anak. 

Pada beberapa kasus menghargai lebih banyak berfokus pada usaha anak untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sementara memberi upah lebih berfokus pada hasil yang di dapat oleh anak.

Pada titik tertentu di saat anak belum termotivasi sama sekali untuk melakukan suatu perilaku positif yang kita harapkan, kita dapat mendorongnya untuk melakukannya dengan memberi upah terlebih dahulu, tetapi tantangannya adalah jangan sampai anak terhanyut pada ketergantungan untuk mendapatkan upah sehingga Ia tidak mau melakukan kecuali jika ada upahnya. Upah hanyalah pemicu awal, selanjutnya kita gunakan mekanisme penghargaan.

Beberapa orangtua dihadapkan pada kondisi lebih jelek dari di atas, yaitu anak mogok untuk sekolah atau belajar kecuali jika mendapatkan hadiah dari orangtuanya. Kemudian orangtua terpaksa memberi apa yang menjadi tuntutan anak.

Dalam konteks ini orangtua tidak sedang memberi upah kepada putranya tetapi Ia sedang menyogoknya. Anak mogok untuk berperilaku positif dan untuk membuat anak bergerak dan melakukan kegiatan tersebut orangtua dengan terpaksa memberi hadiah sogokan.

Tidak akan pernah berhasil cara ini pada jangka panjang, walaupun jangka pendeknya terlihat manjur mendorong anak untuk bergerak. Anak yang sudah berhasil menuntut sogokan untuk satu perilaku positif, maka ia akan terdorong untuk mendapat hadiah sogokan untuk perilaku positif lainnya.

Anak yang sudah terbiasa menuntut sogokan maka ia akan tergantung pada sogokan yang dia dapatkan dari orang lain. Saat anak tersebut tumbuh dewasa masihkah ada orang lain yang mau selalu memberi hadiah sogokan kepadanya.

Logika pada konteks menyogok ini adalah, mengapa kita masih memberi hadiah (sogokan) pada anak yang sedang mogok.

Miftahul Jinan, M. Pd.I., LCPC

Direktur Griya Parenting Indonesia

Disadur dari buku “Anakku Hanya Pintar Sekolah”