Sebagai guru/musyrif kita pasti sering meminta anak-anak melakukan aktifitas untuk membantu kita di sekolah atau di pesantren. Namun ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk meminta mereka. Seperti guru/musyrif yang satu ini, “Mas tolong buang sampah di tempat sampah ini ke tempat sampah depan kelas yang besar”.
Guru/musyrif yang lain bisa mengatakan, “Tempat sampah ini setiap kali penuh belum ada yang bertugas membuangnya ke tempat sampah depan, bisakah mas membantu bu guru untuk membuangnya ke tempat sampah depan setiap kali penuh?”
Melihat dua pola guru/musyrif di atas dalam meminta siswanya dan santrinya untuk membuang sampah dari aspek tujuan yang dicapai sebenarnya sama yaitu sampah terbuang ke tempat yang lebih besar yaitu tempat sampah depan kelas. Namun bagi anak yang melaksanakan masing-masing permintaan di atas sesungguhnya ada perbedaan yang signifikan.
Permintaan yang pertama hasilnya adalah ketaatan anak terhadap perintah kita, sementara pada permintaan yang kedua hasilnya adalah perasaan tanggung jawab terhadap tempat sampah yang penuh. Permintaan yang pertama adalah perintah, sementara permintaan yang kedua adalah pendelegasian tugas.
Di dalam interaksi kita sehari-hari bersama anak/santri tentu kita akan sering memintanya untuk membantu kita. Namun kita lebih sering memerintah anak dari pada mendelegasikan tugas kepadanya. Padahal beberapa permintaan tersebut harus dilakukan oleh anak setiap hari. Akhirnya kita terkesan sering memerintah anak, cerewet dan selalu menuntut.
Sebaliknya sebuah permintaan yang kita sampaikan dalam bentuk delegasi, maka permintaan tersebut bagi anak dianggap sebagai tanggung jawab baru yang harus ia lakukan sehari-hari.
Pada hari pertama kita memang harus menjelaskan tugas tersebut dan alasan pendelegasian tugas kepadanya namun pada hari-hari berikutnya kita hanya mengingatkan tugas tersebut dan tidak memerintah kembali. Tentu mengingatkan anak akan tugasnya lebih ringan daripada memerintahkan untuk melakukannya.
Sebenarnya dari proses delegasi seorang anak belajar lebih banyak daripada perintah, diantaranya:
1. Membangun Rasa Bangga
Dari pendelegasian baru seorang anak mendapatkan tanggung jawab baru yang harus rutin ia lakukan. Kondisi ini akan membangun rasa bangga pada dirinya bahwa keberadaannya di sekolah/pesantren memberi manfaat bagi yang lainnya. Sementara pada pola perintah lebih terkesan pada beban baru.
2. Anak Lebih Betanggung Jawab
Anak lebih mempunyai otoritas untuk melakukan, karena ia melakukannya bukan atas dasar perintah tetapi lebih pada sebuah prinsip tanggung jawab tersebut. Sementara pada pola perintah anak baru bergerak kalau ada perintah dan dorongan orangtua untuk melakukannya
3. Guru/Musyrif Tidak Terlalu Banyak Berbicara
Guru/musyrif tidak terlalu banyak berbicara tentang tugas anak yang harus dilakukan, tinggal mengingatkan akan tanggung jawabnya. Berbeda dengan pola perintah orangtua akan selalu dituntut memerintah anak jika ia membutuhkan bantuan
4. Menjadikan Anak Lebih Mandiri
Jangka panjang anak-anak yang sering mendapat delegasi tugas akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mempunyai inisiatif untuk melakukan tugasnya berdasarkan prinsip dan keyakinan. Sebaliknya anak yang selalu diperintah maka pada jangka panjang tumbuh menjadi anak yang selalu menunggu perintah dan kurang pro aktif.
Miftahul Jinan, M.Pd.I,. LCPC
Direktur Griya Parenting Indonesia